Kamis, 09 Juli 2015

Just a Little Thing: Aku, Kamu, Langit, dan Bumi



Matahari telah tenggelam setengah, dan menyisakan warna jingga pudar dilangit yang masih basah bekas hujan. Kau dan aku berlari menaiki bukit itu, tertawa, saling dorong, bercanda. Sesampainya dipuncak, kita duduk diatas rumput yang basah, terenggah, tertawa lagi. Mungkin kita lagi high, atau hanya berbahagia. Kita saling menatap, aku tersenyum, lalu kau berpaling. Mengadahkan kepalamu, menatap langit. Kulihat kau mulai mengankat tanganmu “Langit itu akan tetap tinggi, tapi suatu saat, akan kugapai warna jingga itu. Lalu kusimpan, mungkin untuk diriku sendiri, atau mungkin kuberikan untukmu. Hahahaha, tapi langit sangat sulit digapai, terlalu tingg, sedang aku hanya kerdil yang sedang tertawa pasrah diatas bukit ini”
Aku tertawa mendengarnya “Lantas untuk apa aku mengulurkan tanganmu. Kalau kau tak yakin langit akan menyambutmu?”
“Entahlah”. Dia menurunkan tangannya, matanya masih terpaku pada langit. Aku merasa dihianati. Rasanya mau aku saja yang jadi langitnya. “Kau melihat langit, tapi mulai melupakan bumi”.
Di menatapku bingung. Kemudian tertawa, “Tak salah? Aku kira bumi yang mulai tak peduli padaku”. Aku membalas tatapannya. God, mata itu lagi. Aku menundukan kepalaku. Menatap kearah perkotaan yang mulai diwarnai oleh lampu. “Kita hidup tak hanya untuk melihat bumi. Tapi juga untuk menggapai langit. Langit itu tinggi, semakin tinggi langit semakin hilang jingganya, semakin dalam gelapnya, semakin terang pula ia. Sedang bumi? Hanya sebagai tempat berpijak. Semakin lama pijakanmu, semakin berat pula kau untuk meninggalkannya. Aku tak ingin hidup hanya untuk berpijak pada bumi, lalu menggapai langit yang juga mungkin tak sudi menyambutku. Aku hanya ingin melayang diantara bumi dan langit. Hanya ingin merasakan angin yang menerpa wajahku, menatap indahnya kota itu diantara lampu indahnya, menatap langit dengan kerlip bintangnya, tanpa harus memilih mau berpijak, atau menggapai. Tapi, keegoisan ini pula yang harus menentukan dimana aku berada” kepalanya menatap langit lagi. “Lihat, langitnya makin tinggi” dia menunjuk satu bintang yang muncul. “Itu bukan bintang. Itu venus. Bintang itu berkelip, tapi tidak dengan planet. Tapi walau tak berkelip, dia tetap indah karena bercahaya, walau hanya dengan memantulkan cahaya. Lihatkan, makin tinggi langitnya, semakin gelap ia, semakin terang pula kita melihat”.
Aku menatapnya lagi “Aku….”
“Aku akan pergi” dia bilang. Aku terdiam. Dia menatapku. Tersenyum, “Aku akan mencari angin dimana ia akan membawaku untuk menggapai langit, seraya aku berpijak pada bumi”. Aku berpaling dari tatapannya. Menatap kota lagi dengan kebisuan yang cukup panjang. Kali ini langit telah berwarna biru tua, hanya menyisikan sedikit jingga di barat.
“Sejauh apapun kau pergi, bumi adalah tempatmu berpijak dan kembali. Sedang langit hanya akan merefleksikan apa yang kau perbuat pada bumi. Suatu saat, langit akan menggapaimu meninggalkan pijakanmu di bumi, dan membawamu kegelapan yang panjang. Kemudian kau akan disambut cahaya venus sebagai cahaya permulaan, hingga akhirnya, langit yang gelap dan dingin menjadi terang dan hangat. Hingga saat itu, bisa kah kau tetap di bumi, kemudian kembali kepijakan pertamamu saat kau akan pergi?”. Akhirnya bicara juga. Tetap aku tak berani menatapnya.
“Memangnya ketika aku pergi langit langsung akan menyambutku? Hahahahaha, konyol! Aku akan kembali, dan pasti kembali”. Aku menatapnya lagi, hah sudahlah aku tak sanggup! Aku meneteskan satu-satunya keberanian yang aku miliki. Dia tersenyum. “Bayangan tak akan pergi jauh dari cahayanya” dia bilang seraya menghapus air mataku. Kemudian bangkit, mengambil toganya, kemudian, melangkah pergi meninggalkanku dengan isak diam dimalam sehabis hujan, diatas bukit itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar