Matahari telah tenggelam
setengah, dan menyisakan warna jingga pudar dilangit yang masih basah bekas
hujan. Kau dan aku berlari menaiki bukit itu, tertawa, saling dorong, bercanda.
Sesampainya dipuncak, kita duduk diatas rumput yang basah, terenggah, tertawa
lagi. Mungkin kita lagi high, atau hanya berbahagia. Kita saling menatap, aku
tersenyum, lalu kau berpaling. Mengadahkan kepalamu, menatap langit. Kulihat
kau mulai mengankat tanganmu “Langit itu akan tetap tinggi, tapi suatu saat,
akan kugapai warna jingga itu. Lalu kusimpan, mungkin untuk diriku sendiri,
atau mungkin kuberikan untukmu. Hahahaha, tapi langit sangat sulit digapai,
terlalu tingg, sedang aku hanya kerdil yang sedang tertawa pasrah diatas bukit
ini”
Aku tertawa mendengarnya “Lantas untuk apa aku mengulurkan tanganmu.
Kalau kau tak yakin langit akan menyambutmu?”
“Entahlah”. Dia menurunkan
tangannya, matanya masih terpaku pada langit. Aku merasa dihianati. Rasanya mau
aku saja yang jadi langitnya. “Kau melihat langit, tapi mulai melupakan bumi”.
Di menatapku bingung. Kemudian tertawa, “Tak salah? Aku kira bumi yang mulai
tak peduli padaku”. Aku membalas tatapannya. God, mata itu lagi. Aku menundukan
kepalaku. Menatap kearah perkotaan yang mulai diwarnai oleh lampu. “Kita hidup
tak hanya untuk melihat bumi. Tapi juga untuk menggapai langit. Langit itu
tinggi, semakin tinggi langit semakin hilang jingganya, semakin dalam gelapnya,
semakin terang pula ia. Sedang bumi? Hanya sebagai tempat berpijak. Semakin
lama pijakanmu, semakin berat pula kau untuk meninggalkannya. Aku tak ingin
hidup hanya untuk berpijak pada bumi, lalu menggapai langit yang juga mungkin
tak sudi menyambutku. Aku hanya ingin melayang diantara bumi dan langit. Hanya
ingin merasakan angin yang menerpa wajahku, menatap indahnya kota itu diantara
lampu indahnya, menatap langit dengan kerlip bintangnya, tanpa harus memilih
mau berpijak, atau menggapai. Tapi, keegoisan ini pula yang harus menentukan
dimana aku berada” kepalanya menatap langit lagi. “Lihat, langitnya makin tinggi”
dia menunjuk satu bintang yang muncul. “Itu bukan bintang. Itu venus. Bintang
itu berkelip, tapi tidak dengan planet. Tapi walau tak berkelip, dia tetap
indah karena bercahaya, walau hanya dengan memantulkan cahaya. Lihatkan, makin
tinggi langitnya, semakin gelap ia, semakin terang pula kita melihat”.
Aku
menatapnya lagi “Aku….”
“Aku akan pergi” dia bilang. Aku terdiam. Dia
menatapku. Tersenyum, “Aku akan mencari angin dimana ia akan membawaku untuk
menggapai langit, seraya aku berpijak pada bumi”. Aku berpaling dari
tatapannya. Menatap kota lagi dengan kebisuan yang cukup panjang. Kali ini
langit telah berwarna biru tua, hanya menyisikan sedikit jingga di barat.
“Sejauh apapun kau pergi, bumi adalah tempatmu berpijak dan kembali. Sedang
langit hanya akan merefleksikan apa yang kau perbuat pada bumi. Suatu saat,
langit akan menggapaimu meninggalkan pijakanmu di bumi, dan membawamu kegelapan
yang panjang. Kemudian kau akan disambut cahaya venus sebagai cahaya permulaan,
hingga akhirnya, langit yang gelap dan dingin menjadi terang dan hangat. Hingga
saat itu, bisa kah kau tetap di bumi, kemudian kembali kepijakan pertamamu saat
kau akan pergi?”. Akhirnya bicara juga. Tetap aku tak berani menatapnya.
“Memangnya ketika aku pergi langit langsung akan menyambutku? Hahahahaha,
konyol! Aku akan kembali, dan pasti kembali”. Aku menatapnya lagi, hah sudahlah
aku tak sanggup! Aku meneteskan satu-satunya keberanian yang aku miliki. Dia
tersenyum. “Bayangan tak akan pergi jauh dari cahayanya” dia bilang seraya
menghapus air mataku. Kemudian bangkit, mengambil toganya, kemudian, melangkah
pergi meninggalkanku dengan isak diam dimalam sehabis hujan, diatas bukit itu.